Skip navigation

Sumpah, aku cuma copy paste artikel menarik tentang UU ITE dari Gatra.com

Selamat membaca, ci luuuk ba.. mwwuuuaaaaah…. (apa seeh??)

http://www.gatra.com/artikel.php?id=114124

UU ITE
Wajib Ada, Kok Malah Dicerca

Puluhan tamu memenuhi ruang pertemuan di lantai VII Gedung Departemen
Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), Senin malam pekan lalu.
Kursi-kursi tambahan tampak berjejal demi menampung peserta yang melebihi
kapasitas ruang pertemuan itu. Para tamu yang tampak antusias itu adalah
anggota komunitas blogger (penulis blog di internet). Mereka bertandang ke
Depkominfo karena secara khusus diundang bersilaturahmi dengan Menteri
Kominfo, Mohammad Nuh, yang duduk di deretan meja paling depan.

Meski pertemuan itu dirancang informal, agenda pembicaraan berjalan
serius. Yakni masalah terkini di dunia internet. Persisnya soal pengesahan
Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) per 25 Maret
lalu.

Untuk mengimbangi tamu yang membludak, Nuh pun membawa pasukan cukup
lengkap. Ada Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Cahyana Ahmadjayadi,
staf ahli hukum Menkominfo Edmon Makarim, serta Direktur Jenderal Pos dan
Telekomunikasi Basuki Yusuf Iskandar.

Dalam pertemuan selama tiga jam itu, Nuh dan ketiga pejabatnya terlihat
sabar menerima “serbuan” pertanyaan, kritik, hingga “curhat” para blogger.
Lantaran pengesahan UU ITE itu seiring dengan beredarnya film Fitna buatan
politikus Belanda, tak urung masalah tersebut kian mengemuka. Apalagi,
pada saat itu, Depkominfo tengah memblokir beberapa situs seperti Youtube
dan Multiply yang memuat film Fitna. Para tamu itu menilai cara
pemblokiran seperti ini seperti menembak nyamuk dengan meriam, alias
berlebihan dan malah merugikan.

Makanya, sebagian blogger seperti Boy Avianto mengusulkan, daripada
memblokir situs-situs yang memiliki content film Fitna, lebih baik
Depkominfo mendorong pembuatan film yang bisa mengangkat citra Islam.
“Saya yakin, film ini akan lebih bagus dan membantu meng-counter film
Fitna,” ujar Boy Avianto.

Pertanyaan dan curhat lain yang mendominasi pertemuan adalah penilaian
sensor internet terkait pornografi yang tak efektif. Malah ada seorang
blogger yang menyebut Pasal 27 UU ITE memasung kebebasan publik
berpendapat. Pasal yang terdiri dari empat ayat ini mengatur soal
pelarangan content asusila (porno), perjudian, pencemaran nama baik, dan
pemerasan/pengancaman dalam dokumen elektronik.

Di komunitas blogger, memang Pasal 27 dan Pasal 28 paling banyak menuai
kritik dan kecaman. Pasal 28 mengatur tentang larangan menyebarkan berita
bohong dan informasi yang menimbulkan kebencian bernuansa SARA (suku,
agama, ras, dan antar-golongan). Tak hanya kecaman dan keluhan, caci maki
pada pemerintah pun banyak muncul di laman-laman blog mereka.

Tak hanya blogger, pada Senin pagi Dewan Pers juga menilai dua pasal itu
berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan berekspresi masyarakat. Mereka
menilai, pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan
penghinaan itu mengingatkan pada haatzai artikelen (pasal karet) di KUHP.
Padahal, pasal produk kolonial itu sudah tidak boleh diberlakukan
berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena itu, Dewan Pers
menilai UU ITE harus direvisi. Malah mereka berniat mengajukan uji
materiil ke MK.

Hal ini tak luput dari pantauan Nuh. Ia tampak heran atas segala ungkapan
para blogger itu. “Saya heran, mengapa masalah sensor porno yang paling
banyak di-blow-up. Padahal, esensi UU ITE melingkupi seluruh transaksi
berbasis elektronik seperti komputer serta jaringan dan memiliki kekuatan
hukum,” kata Nuh.

Sedangkan terhadap penilaian Dewan Pers, Nuh menyebutkan, tak sepatutnya
insan pers khawatir. Sebab dunia pers sudah memiliki peraturan hukum
tersendiri, yaitu UU Pers.

Ia menuturkan, UU ITE yang disahkan DPR pada 25 Maret lalu menjadi bukti
bahwa Indonesia tak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat
peranti hukum di bidang cyberspace law. Menurut data Inspektorat Jenderal
Depkominfo, sebelum pengesahan UU ITE, Indonesia ada di jajaran terbawah
negara yang tak punya aturan soal cyberspace law. Posisi negeri ini sama
dengan Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika Selatan.

Tentu saja posisi itu jauh berada di belakang negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat. Bahkan beberapa negara berkembang lainnya, seperti India,
Sri Lanka, Bangladesh, dan Singapura, mendahului Indonesia membuat
cyberspace law. Tak mengherankan jika Indonesia sempat menjadi surga bagi
kejahatan pembobolan kartu kredit (carding).

Sesuai dengan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia,
kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus. Itu
meliputi spam, penyalahgunaan jaringan teknologi informasi, open proxy
(memanfaatkan kelemahan jaringan), dan carding. Data dari Asosiasi Kartu
Kredit Indonesia (AKKI) menunjukkan, sejak tahun 2003 hingga kini, angka
kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun.

Menurut Cahyana Ahmadjayadi, selain carding, aneka kejahatan internet lain
yang juga merugikan banyak pihak makin meningkat. Mulai hacking
(pembobolan jaringan internet tanpa tujuan merusak, biasanya sekadar “adu
ilmu”), cracking (pembobolan jaringan internet dengan tujuan merusak
seperti menyebar virus hingga mengambil data rahasia), phising (pencurian
informasi personal seperti e-mail dan nomor rekening dengan pengiriman
e-mail palsu seolah-olah dari bank), penyebar virus, pornografi, hingga
perjudian.

Semua itu terjadi bersamaan dengan makin meluasnya penggunaan teknologi
informasi di Indonesia. Misalnya, jumlah pengguna internet di Indonesia
mencapai 20 juta pada tahun lalu. “Karena itu, UU ITE ini mutlak
diperlukan bagi negara kita,” Cahyana menegaskan.

Apalagi, ia melanjutkan, kegiatan transaksi elektronik di Indonesia makin
meningkat tiap tahun. Mengutip data dari AKKI, nilai transaksi kartu
kredit di Indonesia pada 2001 baru Rp 19,3 trilyun. Lalu naik pesat pada
2007 hingga mencapai Rp 72,6 trilyun. Dengan kondisi ini, payung hukum
jelas harus ada demi keamanan semua komponen dalam transaksi elektronik.

Antara lain melindungi issuer (institusi keuangan yang menerbitkan kartu
bank), pemegang kartu (konsumen sebagai anggota penerbit kartu), pedagang
(penjual jasa dan informasi jasa), institusi keuangan yang menyediakan
jasa transaksi dan proses kartu bank), serta certification authority
(pihak ketiga terpercaya yang menerbitkan sertifikat digital).

Selain memberi perlindungan hukum, undang-undang yang terdiri dari 13 bab
dan 54 pasal itu mengatur banyak hal penting lainnya. Pertama, tanda
tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda
tangan konvensional (tinta basah dan bermeterai). Pengakuan ini juga
sejalan dengan panduan kerja e-ASEAN (e-ASEAN Framework Guidelines)
tentang pengakuan tanda tangan digital lintas batas dalam ASEAN. Sehingga
sangat mendukung pelaksanaan perdagangan elektronik (e-commerce) yang
makin tinggi trafiknya.

Kedua, alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Ketiga, UU ITE berlaku
untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di
wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di
Indonesia. Keempat, penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan
metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase.

Dengan aturan-aturan seperti itu, UU ITE mendapat dukungan penuh dari
Kepolisian RI. Mereka selama ini sering menemui kendala karena tak bisa
menjadikan dokumen elektronik sebagai barang bukti. Kepala Unit IT dan
Cyber Crime Direktorat II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Mabes
Polri, Kombes Petrus R. Golose, menyebutkan bahwa UU ITE menjadi payung
hukum pertama bagi aparat hukum untuk menindak kejahatan transaksi
elektronik di dunia cyber. “UU ITE ini prestasi luar biasa. Kami pun tidak
lagi merasa malu bila bertemu dengan organisasi kepolisian internasional
seperti Interpol,” kata Petrus.

Meski begitu, Kepolisian RI bersama tim dari Depkominfo dan seluruh pihak
terkait tak akan langsung menerapkan segala sanksi yang ada dalam UU ITE.
Sanksi pada pelanggaran pasal-pasal UU ITE meliputi denda Rp 600 juta
hingga Rp 12 milyar. Ada pula ancaman pidana hingga maksimal 12 tahun
penjara. .”Kami tidak akan gegabah. Karena itu, kami mengutamakan
langkah-langkah yang arif, seperti sosialisasi,” kata penyidik Unit Cyber
Crime Bareskrim Mabes Polri, AKBP Eddy Hartono.

Eddy menyatakan, pihaknya juga tak akan mencari-cari kesalahan.
Sebaliknya, mereka mengajak pihak-pihak seperti pengelola warung internet
(warnet) membantu polisi. Misalnya dengan melaporkan pelanggaran UU ITE.
“Nanti akan kami copy, karena UU ITE memperbolehkan flash disk, hard disk,
handphone, dan sejenisnya sebagai alat bukti,” ujarnya.

Ternyata gayung bersambut. Sebab Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), Silvia W. Sumarlin, termasuk barisan yang
mendukung UU ITE. Ia menilai, dengan adanya UU ITE, para penjahat internet
tak akan bisa sebebas dulu. Malah ia tak keberatan dengan denda yang
mencapai belasan milyar pagi para pelanggar UU ITE, termasuk untuk pembuat
situs porno. “Saya sejak dulu tidak setuju situs porno. Jadi, diganjar
berapa pun, saya setuju saja,” kata Sylvia, yang juga memiliki internet
service provider bernama Dyviacom Intrabumi (D-Net).

APJII pun akan membantu pemerintah menjalankan UU ITE sebaik mungkin.
Masalahnya, kata Wakil Ketua Umum APJII, Isnawan, secara teknis pihaknya
tidak mungkin menghilangkan semua situs yang berbau pornografi, kekerasan,
dan menyebarkan kebencian. “Itu ada jutaan situs. Pemerintah juga tidak
bisa bekerja sendirian. Karena itu, kita harus bersama-sama terus,” ujar
Isnawan.

Menurut Isnawan, pemerintah perlu memperluas penyebaran peranti lunak
penyaring content terlarang, seperti pornografi dan kekerasan. Sebab, pada
saat ini, selain jumlahnya terbatas, kemampuan saringannya juga masih
terbatas. Rata-rata hanya mampu mendeteksi tulisan berbau porno atau
kekerasan, tapi belum bisa mendeteksi gambar-gambar atau grafis asusila.

Berdasarkan pantauan Gatra, kini di situs Depkominfo terpasang peranti
lunak filter situs antisusila. Pengunjung situs ini bisa mengunduh gratis
content yang terletak di laman muka sisi kanan atas situs
www.depkominfo.go.id.

Peranti lunak itu memang bukan hasil pengembangan Depkominfo. Mereka hanya
mengambil dari peranti lunak gratis yang tersedia di internet, seperti K9
Web Protection dari Blue Coat dan Naomi Family Safe Internet dari Radiant.

Karena itulah, Depkominfo menepis tudingan bahwa mereka menghabiskan dana
sampai Rp 1 trilyun hanya untuk memblokir situs porno plus situs penayang
film Fitna. “Tidak, tidak betul itu ada biaya sampai Rp 1 trilyun. Sistem
anggaran kami kan sangat ketat. Disahkan saja belum APBN-P 2008. Kalau
kami mengeluarkan, jelas kami melanggar, tidak mungkin. Lalu tidak ada di
rencana anggaran. Urusan ini tidak kami anggarkan,” papar Nuh.

Selain menyediakan peranti lunak berukuran berukuran 5 MB itu, Depkominfo
juga membuka kesempatan pada setiap masyarakat untuk ikut memberantas
situs-situs asusila dengan melaporkannya melalu e-mail
adminfilterasusila@depkominfo.go.id.

Astari Yanuarti
[Ekonomi, Gatra Nomor 23 Beredar Kamis, 17 April 2008]

Sebagai bonus, aku tambahin surat dari google buat Menkominfo karena masih terkait dengan topik yang sama; UU ITE – Film Fitna – Pemblokiran sejumlah situs. (ini juga hasil copy paste dari milis yang dishare oleh seorang anggotanya. Thanks riq..)

9 April 2008

Honorable Minister Mohammad Nuh
Ministry for Information and Communication
Republic of Indonesia

Jl. Medan Merdeka Barat No.9
Jakarta 10110 Indonesia
Dear Honorable Minister Nuh:
Thank you for your letter dated April 1, 2008 regarding the “Fitna” video on YouTube, which we received on 7 April. I am responding on behalf of YouTube, LLC and its parent company Google Inc. We understand that this video has sparked intense opposition by some Indonesians. While we are commited to protect the ability of individuals worldwide to exercise free expression concerning even heated political and cultural issues, we also respect local laws that seek to preserve social harmony by limiting speech that is likely to be inflammatory. On that basis, we hope that we can work together to find an agreeable solution.YouTube allows individuals to express themselves and to communicate with a global audience. We provide a community in which people from around the world can broadcast and express themselves by sharing videos in a safe and lawful manner.

We will remove content from display in Indonesia where it would be in violation of Indonesian laws. At the same time, we will not unnecessarily block legal videos from Indonesian users. The Ministry has asked YouTube to remove all content found in a search for “Fitna”. However, a large majority of these videos are actually expressions of opposition to, or comments on, the original video, or are completely unrelated to it.
Some of the rebruttal videos have accumulated more than 100,000 views.

We respectfully ask your Ministry to help us identify the specific videos that may violate Indonesian law. We proposed that the Ministry send a list of videos believed to be illegal, noting the specific web addressed. We will promptly review the Ministry’s list and remove any illegal videos from display to Indonesian YouTube users.

We would also like to initiate ongoing cooperation and dialog with your Ministry. We offer the following proposals to expedite identification of, and response to, illegal content in Indonesia:

  • We will provide an email account for the Ministry to report directly any videos believed to violate Indonesian law.
  • We will review the identified videos and provide a response within a 24-48 hour period
  • When we confirm that a video appears to be illegal under Indonesian law, YouTube will immidiately prevent such videos from display to Indonesian Internet users, as appropriate.

Should there be any lack of clarity about the legality of any video identified by your Ministry, we suggest that legal action can be pursued against the individual who uploaded the video and court determination can be made regarding the content. As a matter of policy, YouTube will block from Indonesia videos judicially determined to be illegal under Indonesian law.We believe this approach can provide solid assurance to the government of Indonesia, while permitting YouTube to continue to offer its services across the many diverse countries and cultures around the world. We recognize that Indonesia is a growing technology center, and we look forward to working together to help Indonesians realize the benefits of the Internet.

Respectfully,

Kent Walker
Vice President and General Counsel
Google Inc.

Leave a comment